Aksesories Laptop n Komputer

Ki Ageng Penjawi, Sosok Adipati Pati yang Bijak dan Disegani

Table of Contents

foto lama masjid agung pati, pati tempo dulu, pati jaman dulu, basjid baitunnur pati

KI AGENG PENJAWI, PENERUS PARA TOKOH BESAR

Mungkin kita tidak banyak mengetahui tentang beliau, bahkan sebagian warga Pati sendiri tidak begitu mempedulikannya. Walaupun nama beliau dijadikan salah satu nama jalan di Pati (Jalan Penjawi), namun banyak orang Pati yang tidak mengenalnya dengan pasti.

Jika kita runut ke atas, beliau masih keturunan dari Ki Ageng Ngerang dan Nyai Ageng Ngerang. Nah kalo dua nama tersebut tidak asing kan bagi Sobat Santri? Apalagi para Santri di wilayah Karisidenan Pati.
Yuk, coba sedikit kita detailkan satu persatu. Semoga bisa difahami dengan baik. Sebelumnya, mohon maaf jika ada salah tulis nama atau ada silsilah yang kurang tepat.

Well, mari kita Mulai dari Nyai Ageng Ngerang dulu ya Bat.

NYAI AGENG NGERANG

Nyai Ageng Ngerang bernama Roro Kasihan. Ada juga yang mengatakan kalo nama Asli beliau adalah Siti Rohmah. Sebagian masyarakat mengenalnya dengan Nyai Juminah.
Ketika menikah dengan Ki Ageng Ngerang Juwana, beliau lebih dikenal dengan gelar, Nyai Ageng Ngerang. Beliau disebut-sebut sebagai salah satu Wali Perempuan di Tanah Jawa ini. Sosoknya anggun dan berwibawa, layaknya para Putri Raja.
Makam beliau ada di Dukuh Ngerang, Desa Tambakromo, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati. 

Lalu siapakah beliau?
Nyai Ageng Ngerang merupakan Putri dari Raden Bondan Kejawan (Aryo Lembu Peteng) dan Roro Nawangsih. Pasangan ini memiliki 3 orang anak, yaitu: Ki Ageng Wonosobo. Nyai Ageng Ngerang, dan Ki Ageng Getas Pendowo.

Raden Bondan Kejawan, ayah dari Nyai Ageng Ngerang, adalah Putra dari Brawijaya V, dari selir bernama Wandan Kuning. Masa kecilnya, Raden Bondan diasuh oleh Ki Ageng Tarub (Joko Tarub) dan akhirnya menikah dengan Putri Joko Tarub bernama Roro Nawangsih (Dewi Retno Nawangsih).
Dengan demikian, dari jalur Ayah, Nyai Ageng Ngerang merupakan Cucu dari Prabu Brawijaya V.

Sedangkan, Roro Nawangsih, Ibu Nyai Ageng Ngerang adalah Putri dari Ki Ageng Tarub (Joko Tarub); Tokoh yang selama ini kita kenal karena telah berhasil mendapatkan seorang bidadari untuk dijadikan Istri. Makam Joko Tarub dan Raden Bondan Kejawan berada di satu komplek di Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan.



Menurut Budayawan Jawa dari Roso Sejati Pati, dahulu, ada tradisi untuk menyembunyikan jati diri seorang anak yang telah diprediksi akan menjadi tokoh besar. Masih dari pendapat beliau, Dewi Nawang Wulan, yang konon adalah bidadari yang berhasil diperistri Joko Tarub, sebenarnya hanya manusia biasa, bukan bidadari. Ia mungkin putri yang sengaja disembunyikan identitasnya.
Raden Bondan Kejawan sendiri juga termasuk bagian dari pelaksanaan tradisi ini. Ia disembunyikan identitasnya dan diasuh Joko Tarub sejak kecil. Masyarakat tidak ada yang mengetahui kalo Raden Bondan Kejawan sebenarnya adalah seorang Pangeran, putra Brawijaya V.
Bahkan, Roro Nawangsih, yang sejak kecil sudah menjadi teman bermainnya pun tidak mengetahui hal ini pada awalnya.

Pentingkah penyembunyian identitas ini?
Penting, terkait keselamatan para putra dan putri pinilih. Jika mereka tidak diasingkan dan disembunyikan, ada kehawatiran akan dicelakai oleh pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan mereka menjadi tokoh besar di suatu masa nanti. 

Apakah Sobat Santri ingat, bagaimana Nabi Yusuf kecil dicelakai oleh para saudaranya?
Karena mereka mengetahui kalo Nabi Yusuf akan menjadi Tokoh Besar; lewat mimpi yang beliau peroleh di masa itu. 
Bukan bermaksud untuk menjelekkan saudara Nabi Yusuf, tapi itulah yang terjadi. Namun, pada akhirnya mereka bertaubat atas kesalahan yang mereka perbuat. Dan semoga kita juga diampuni jika sudah menaruh prasangka buruk pada keluarga Nabi.

JOKO TARUB

Balik ke Joko Tarub.
Joko Tarub, ayah dari Roro Nawangsih dan Kakek dari Nyai Ageng Ngerang adalah Putra dari Dewi Retno Roso Wulan yang merupakan Putri dari Tumenggung Wilotikto. Menurut beberapa pendapat, Tumenggung Wilotikto adalah ayah dari Sunan Kalijaga. Walaupun tentu saja, ada beberapa pendapat lain, yang juga harus kita hargai dan pelajari. Jika benar bahwa Sunan Kalijaga adalah Putra Tumenggung Wilotikto, maka Joko Tarub adalah keponakan dari Sunan Kalijaga.

Lalu siapa ayah Joko Tarub?
Ketika Raden Syahid (Sunan Kalijaga) meninggalkan rumah, sang adik, Retno Roso Wulan, merasa kehilangan dan mencoba untuk mencari kakaknya. Ia sampai melakukan riyadhoh di sebuah Hutan, agar dipertemukan dnegan Sang Kakak. Nah, ketika berada di hutan tersebutlah, Dewi Roso Wulan, bertemu dengan Syech Maulana Maghribi yang juga sedang nepi di hutan yang sama. Singkat cerita, mereka berdua menikah dan dikarunai seorang putra yang kemudian kita kenal dengan Joko Tarub. 
Jadi, menurut pendapat ini, ayah Joko Tarub adalah Syech Maulana Maghribi, seorang tokoh penyebar Agama Islam yang banyak kita temukan petilasannya di Pulau Jawa ini.

Makam Syech Maulana Maghribi yang masyhur dan diakui oleh Keraton Mataram berada di sebuah Bukit di wilayah pesisir Pantai Parang Tritis Jogjakarta. Sobat Santri tentu sudah banyak yang pernah berziarah kesana, sekaligus ke Makam Murid beliau, Syech Bela-Belu dan tak lupa berwisata ke Parang Tritis.

Dari sisi ini, Nyai Ageng Ngerang mempunyai garis keturunan yang luar biasa, baik dari sisi ayah maupun ibunya. Dari sisi ayah, keturunan Brawijaya V, dari sisi Ibu keturunan Syech Maulana Maghribi.

Komplek Makam Syech Maulana Maghribi Parangtritis Jogjakarta
Makam Syech Maulana Maghribi Parangtritis Jogjakarta

KI AGENG NGERANG

Nyai Ageng Ngerang adalah Istri dari Ki Ageng Ngerang.
Ki Ageng Ngerang, atau juga dikenal dengan Sunan Ngerang adalah Tokoh Islam yang sangat di segani. Ia memiliki sebuah Padepokan yang berada di daerah Pakuwon, Kecamatan Juwana Kabupaten Pati. Banyak murid-murid beliau yang kita kenal, diantaranya adalah Sunan Muria dan Sunan Kudus. 

Sebagian pendapat mengatakan jika Ki Ageng Ngerang masih Keturunan Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim. Namun, saya sendiri belum berani menuliskan silsilah beliau ini. Yang Pasti, jika Sunan Muria dan Sunan Kudus saja berguru padanya, maka Ki Ageng Ngerang sudah pasti seorang Tokoh yang cukup mempuni dalam segi Keilmuan dan Kadigdayaan. Setelah beliau meninggal, beliau dimakamkan di Desa Pakuwon, Kec. Juwana, Kabupaten Pati.

Sebenarnya ada sedikit kisah tentang pergesekan antara Ngerang dan Kerajaan Demak, terkait Syech Siti Jenar, yang memang dikenal dekat dengan Ki Ageng dan Nyai Ageng Ngerang. Hal ini pula yang membuat Nyai Ageng Ngerang berpindah ke wilayah tambakromo dan menetap disana sampai akhir hayatnya.

Melihat begitu istimewanya Ki Ageng Ngerang dan Nyai Ageng Ngerang, tak Heran, jika hasil pernikahan keduanya menghasilkan keturunan - keturunan yang luar biasa. Mereka dianugrahi 3 orang Putri dan 1 orang Putra.
Anak pertama mereka, Roro Kinasih, menikah dengan Ki Ageng Selo, yang sebenarnya masih juga keponakan dari Nyai Ageng Ngerang, karena Ki Ageng Selo adalah Putra dari Ki Ageng Getas Pendowo. Dari pernikahan inilah melahirkan Ki Ageng Ngenis (Henis) yang menurunkan Ki Ageng Pemanahan dan menurunkan Raja - Raja Mataram.

Anak ketiga,  Roro Nyono (Roro Noyorono) adalah Istri dari Sunan Muria. Jadi selain guru, Ki Ageng Ngerang adalah Mertua dari Sunan Muria.
Sedangkan anak keempat, Roro Pujiwat, meninggal dalam sebuah drama percintaan dan terkait dengan Kisah Pintu Gerbang Taman Kaputren Majapahit. Roro Pujiwat, dimakamkan di Sisi Jalan Utama Pati - Juwana. Sedangkan Pintu Gerbang Majapahit tersebut, sampai saat ini, masih terawat dengan baik dan berada di Dukuh Rendole, Desa Muktiharjo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati.

sunan ngerang, ki ageng ngerang, pekuwon juwana, pintu gerbang majapahit, dukuh rendole, desa muktiharjo, kecamatan margorejo, kabupaten pati


Lalu, anak kedua dari Ki Ageng dan Nyai Ageng Ngerang, adalah seorang Putra yang bergelar Ki Ageng Ngerang II. Ki Ageng Ngerang II mempunyai Putra yang bergelar Ki Ageng Ngerang III. Ki Ageng Ngerang III ini membantu saudara sepupunya, yaitu Ki Ageng Ngenis untuk menyebarkan Islam di wilayah Laweyan, Solo.

Kala itu, Laweyan merupakan wilayah Kadipaten Pajang, yang dipimpin oleh Joko Tingkir, Putra Ki Ageng Pengging II (Kebo Kenongo). Ki Ageng Ngenis berpindah dari Selo (Grobogan) ke Pajang, dan menjadi Guru Spiritual Joko tingkir. Beliau mulai bersahabat dengan Ki Ageng Beluk, salah seorang Tokoh Hindu yang tinggal di Laweyan. Karena sering berdiskusi tentang Agama, Ki Ageng Beluk tertarik dengan dakwah Islam oleh Ki Ageng Ngenis, maka kemudian, Ki Ageng Beluk memeluk Islam dan menyerahkan Pura di Laweyan untuk dirubah menjadi Masjid. Di tahun 1546, Ki Ageng Ngenis mulai membangun Masjid Laweyan dibantu oleh Ki Ageng Ngerang III, sepupunya. 

Sejak saat itu Ki Angeng Ngenis dan Ki Ageng Ngerang III tinggal di Laweyan. Mereka juga berjasa dalam mengajarkan teknik membatik, pada masyarakat sekitar. Keduanya pun dimakamkan di komplek pemakaman yang sama, di sebelah Masjid Laweyan.

Menurut beberapa pendapat, Ki Ageng Ngerang III menikah dengan Raden Ayu Panengah, putri Sunan Kalijaga. Dari pernikahan inilah Lahir Ki Ageng Penjawi.

Terlahir dari leluhur-leluhur yang hebat inilah membuat Ki Ageng Penjawi tumbuh menjadi sosok yang disegani. Ia diangkat anak oleh Ki Ageng Ngenis dan dianggap kakak oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani. Karena dari Jalur Raden Bondan Kejawan, Nyai Ageng Ngerang (Leluhur Ki Ageng Penjawi) adalah Kakak dari Ki Ageng Getas Pendawa (Leluhur Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani)

Ketiganya merupakan tokoh utama yang diminta oleh Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya) untuk menghadapi Raden Arya Panangsang. 3 Pendekar Muda trah Joko Tarub ini berhasil mengalahkan Pasukan Jipang Panolan dan menyatukan kembali kerajaan Demak dibawah Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir)

Bagaimana Sobat Santri?
Agak pusingkah membaca rentenan nama demi nama di atas?
Oke, Fine, saya coba bantu untuk menyederhanakan nama - nama yang ada, ke dalam diagram silsilah berikut ini ya. Semoga bisa lebih memudahkan dalam memahami ketersambungan nama - nama yang ada.

silsilah joko tarub, ki ageng penjawi, nyai ageng ngerang, raden bondan kejawan, raja mataram

MENGHADAPI RADEN ARYA PANANGSANG

Tidak dipungkiri bahwa terjadi gesekan dalam suksesi kepemimpinan Demak pasca Raden Fatah (memerintah tahun 1478 - 1518) dan meninggalnya Pangeran Sabrang Lor (Adipati Pati Unus) yang menjadi Raja Demak ke-2 (1518 - 1521) dalam perang melawan Portugis. Beberapa Pihak mengklaim memiliki hak untuk menjadi Raja Ketiga Demak dan itu membuat suksesi Penerus Raja Ke-3 Demak tidak berjalan mulus.

Walhasil, yang menjadi Raja setelah Raden Fatah adalah Sultan Trenggono yang memerintah Demak Bintoro dari tahun 1521 hingga meninggalnya di tahun 1546. Raja Demak kemudian digantikan oleh Putranya, Sunan Prawoto. Beliau memindahkan Pusat Kerajaan Demak, dari Bintoro ke Prawoto (sekarang wilayah Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati). Pemerintahannya berlangsung cukup singkat, hanya sekitar 3 tahun, (1546 - 1549). Sekitar tahun 1549, Terjadi perebutan kekuasaan (kudeta) oleh Raden Arya Penangsang, yang masih saudara sepupu Sunan Prawoto. Raden Arya Penangsang mengambil alih Demak serta memindahkan pusat kerajaan Demak ke Jipang (daerah Blora). Diperkirakan, Raden Arya Panangsang memerintah Demak dari tahun 1549 hingga 1554.

Dari sinilah, Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, meminta Joko Tingkir untuk kembali merebut Demak dari Raden Aryo Penangsang. Joko Tingkir adalah suami dari Ratu Mas Cempaka, adik perempuan Ratu Kalinyamat. Artinya, Joko Tingkir adalah Ipar dari Ratu Kalinyamat dan juga Sunan Prawoto.

Untuk menghadapi Raden Arya Panangsang, Joko Tingkir mengutus tiga pemuda Trah Joko Tarub, yaitu Ki Ageng Penjawi, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani. Ketiganya adalah asuhan Ki Ageng Ngenis.
Ki Ageng Ngenis sendiri merupakan Guru Joko Tingkir sewaktu muda, dan kemudian dijadikan Penasehat Kerajaan, setelah Joko Tingkir menjadi Raja.

Sebagai yang dituakan diantara ketiga bersaudara tersebut, Ki Ageng Penjawi memang berperan penting dalam setiap langkah yang mereka ambil dalam menghadapi Raden Arya Panangsang. Beliau sebagai yang dituakan, dipilih untuk menjadi Panglima Perang, memimpin Pasukan menghadapi Raden Arya Panangsang dan pasukannya yang telah menunggu di perbatasan.

Setelah berhasil mengalahkan Raden Arya Panangsang dan Pasukannya, Joko Tingkir lalu diangkat menjadi raja baru. Kekuasaan Joko Tingkir baru didukung penuh oleh para adipati di beberapa wilayah khususnya Jawa Timur, setelah ada pertemuan dengan para adipati ini. Hal ini menandai secara resmi berdirinya Kasultanan Pajang sebagai penerus Demak di Bawah Joko Tingkir (Sultan Hadiwijoyo) pada tahun 1568.

Joko Tingkir kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya dan memindahkan Pusat Kerajaan Demak ke Pajang (sekitar wilayah Surakarta saat ini) dan menyerahkan wilayah Pati sebagai tanah Pardikan kepada Ki Ageng Penjawi. 

KADIPATEN PATI DAN KOSONGNYA PEMERINTAHAN

Kadipaten Pati awalnya berupa dua wilayah, Kadipaten Paranggaruda (wilayah Selatan Sungai Silugonggo / Selat Muria) dan Kadipaten Carangsoka (Wilayah Utara Sungai). 2 Wilayah tersebut kemudian disatukan oleh Adipati Kembang Joyo sekitar tahun 1292 dan namanya dirubah menjadi Kadipaten Pesantenan, dengan pusat pemerintahan di Desa Kemiri.

Adipati Kembang Joyo digantikan oleh Putranya, Adipati Tombronegoro (memerintah sekitar tahun 1300-an) dan memindahkan pusat pemerintahan ke Desa Kaborongan, serta mengganti Nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kadipaten Pati. Peristiwa pemindahan pemerintahan dan penggantian nama ini diabadikan oleh Pemerintah Kabupaten Pati, sebagai Hari Jadi Pati, yaitu pada tanggal 07 Agustus 1323.

Nama Adipati Tombronegoro dan Kadipaten Pati juga tercatat dalam Prasasti Tuhannaru (tersimpan di Museum Trowulan), yang disebutkan bahwa Adipati Tombronegoro dari Kadipaten Pati, turut menghadiri Pisuwanan Agung Kerajaan Majapahit yang diadakan pada 13 Desember 1323. 
Dengan demikian, artinya, Pati mengakui Kekuasaan Majapahit dan Pati menjadi bagian dari Kerajaan Besar Majapahit.

Pemerintahan Kadipaten Pati, kemudian dilanjutkan oleh Adipati Tondonegoro, Putra Adipati Tombronegoro. Beliau memerintah sejak 1330 hingga awal tahun 1500-an.
Adipati Tondonegoro tidak memiliki anak, jadi setelah beliau meninggal, Kadipaten Pati tidak memiliki pemimpin yang mutlak. Pemerintahan dijalankan oleh beberapa penggedhe antara lain Ki Gedhe Rogowongso, Ki Gedhe Jiwonolo, Ki Gedhe Plangitan dan Ki Gedhe Jambean.

Kedatangan Ki Ageng Penjawi untuk memimpin Pati, di tahun 1568, disambut hangat oleh masyarakat. Walaupun tumbuh di Laweyan (Solo), Ki Ageng Penjawi adalah trah Pati, karena putra dari Ki Ageng Ngerang (Juwana).
Ki Ageng Penjawi pun memimpin Pati dengan bijak dan tetap mendengarkan nasihat dari pada penggedhe di atas, dalam mengambil keputusan.
Ki Ageng Penjawi mengembangkan pertanian dan perikanan di wilayah Pati, dan mencapai kemajuan di dua bidang tersebut. Beliau memerintah Pati hingga kisaran tahun 1576.

sejarah sulat muria memisahkan gunung muria dan pulau jawa, masa akhir selat muria
Sungai Silugonggo (Juwana) adalah sisa dari Selat Muria yang masih ada hingga kini,
dan dulunya memisahkan Kadipaten Carangsoka dan Paranggarudha

KETURUNAN KI AGENG PENJAWI

Ki Ageng Penjawi mempunyai dua anak. Yang Pertama, adalah seorang putri yang bernama Waskita Jawi (Roro Sari). Ia kemudian diambil menantu oleh Ki Ageng Pemanahan dan menikah dengan Panembahan Senopati. Panembahan Senopati adalah Raja Pertama Mataram Islam. Kemudian, Roro Sari bergelar Kanjeng Ratu Mas Pati.
Pernikahan ini melahirkan Panembahan Hanyokrowati, ayah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo (Pahlawan Nasional yang menghadapi VOC di Batavia)

Yang kedua, adalah seorang Putra bergelar Adipati Wasis Joyokusuma, dan menggantikan Ki Ageng Penjawi menjadi Adipati Pati sejak 1577 hingga 1601.
Pada masa pemerintahan Adipati Wasis ini, terjadi gesekan antara Mataram dan Pati.
Hal ini dipicu, oleh Kebijakan Pati yang tidak turut serta melakukan Pisowanan Agung ke Mataram, yang artinya, Pati tidak mengakui kedaulatan Mataram.

Hal ini wajar, karena memang Pati dan Mataram berkedudukan sejajar, sebagai Tanah Perdikan hadiah dari Joko Tingkir (Sultan Hadi Wijoyo). Setelah Mataram mendeklarasikan diri sebagai sebuah kerajaan Baru, secara aturan, Mataram sudah melakukan pemberontakan pada kekuasaan sah Kerajaan Demak (Kasultanan Pajang) di bawah Joko Tingkir.

Awalnya, Joko Tingkir pun tidak menerima sikap mataram ini dan menyerang Mataram. Namun, karena nasehat dari Sang Guru, Sunan Kalijaga, akhirnya, Joko Tingkir yang waktu itu sudah sepuh rela melepas tahta dan menyerahkan estafet kepemimpinan Demak kepada Panembahan Senopati (Danang Sutawijaya).

Danang Sutawijaya kecil, sebenarnya adalah anak angkat Joko Tingkir. Waktu itu, Joko Tingkir ingin memiliki seorang Putra, dan dalam tradisi Jawa, jika ingin memiliki putra, maka seseorang harus mengangkat anak (Mupu Anak), untuk memancing kehamilan dan kelahiran seorang putra.

Untuk menghindari gesekan antara Pati dan Mataram, maka Panembahan Senopati menjadikan Ratu Mas Pati, kakak dari Adipati Wasis, menjadi permaisuri. Singkat cerita, Adipati Wasis kemudian, menyerahkan Pati ke Mataram, dan memilih untuk mengasingkan diri di Gunung Pati (Ungaran).

Setelah Pati secara resmi berada dalam kekuasaan Mataram, Panembahan Senopati mengangkat Putra Ki Wasis untuk menjadi Adipati di bawah kekuasaan Mataram, dengan Gelar Adipati Pragola I (masa pemerintahan 1601 - 1628) dan kemudian digantikan Putranya, Adipati Pragola II yang memerintah Pati pada tahun 1628 - 1640.

Adipati Pati lalu digantikan Adipati Pragola III, putra Adipati Pragola II, yang memerintah dari tahun 1640 hingga kisaran tahun 1666-an. Setelah Adipati Pragola III ini, Kadipaten Pati terjadi kembali kekosongan Pemerintahan dan kembali dipegang oleh 2 Katumenggungan, yaitu Tumenggung Wetanan dan Tumenggung Kulonan.

PERAN PENTING KI AGENG PENJAWI

Dari rentetan narasi di atas, Sobat Santri pasti sudah mengetahui bahwa Ki Ageng Penjawi memiliki peran yang cukup penting di wilayah Kabupaten Pati sendiri ataupun bagi Kerajaan Mataram. 
Yang Pertama, Karena dari Keturunan Ki Ageng Penjawi ini, lahirlah para Adipati bijak yang memimpin Kadipaten Pati serta membawa Kadipaten Pati lebih maju dan makmur, menjadi salah satu Kadipaten yang disegani.
Bahkan saat pemerintahan kolonial, Pati dijadikan Pusat Karisidenan dan membawahi beberapa Kabupaten, seperti Kudus, Jepara, Rembang, Grobogan dan Blora

Kalo sekarang, eks karisidenan Pati terkenal dengan Plat K (kode awal nomor kendaraan), sedangkan Gedung Karisidenan Pati, masih berdiri megah hingga saat ini dan menjadi salah satu cagar budaya Kabupaten Pati.

Yang Kedua, bagi Mataram, Ki Ageng Penjawi juga memiliki peran yang cukup penting. Karena beliaulah Panglima yang memimpin pasukan mengalahkan Arya Penangsang, dan oleh karenanya Mentaok menjadi daerah Perdikan serta menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Mataram.

Yang tak kalah penting, karena Raja Mataram mulai dari Sultan Agung Hanyokrowati terlahir dari rahim putri Ki Ageng Penjawi, yaitu Kanjeng Ratu Mas Pati.
Sultan Agung Hanyokrowati (masa pemerintahan 1601 - 1613) adalah cucu dari Ki Ageng Penjawi. Kemudian Sultan Hanyokrowati memiliki Putra, yang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusuma (masa pemerintahan 1613 - 1645). Beliau merupakan salah satu Tokoh dan Pahlawan Nasional yang menghadapi Penjajahan Belanda (VOC)
Jadi, Sultan Agung Hanyokrokusuma adalah cicit (buyut) dari Ki Ageng Penjawi.

MAKAM KI AGENG PENJAWI

Sepanjang pengetahuan saya, terdapat 2 tempat yang dipercaya sebagai makam Ki Ageng Penjawi. Yang pertama, terletak di Dukuh Kaborongan Desa Pati Lor, Kecamatan Kota, Kabupaten Pati. Walaupun terdapat beberapa Makam di dalamnya, namun awalnya tertulis di papan Luar, sebagai petilasan Ki Ageng Penjawi. Namun, hasil dari Ziarah kami terbaru (malam Jumat Pahing, 9 Juni 2022) papan Namanya sudah berganti menjadi "Maqam".

Yang Kedua, terletak di Kabupaten Banjarnegara, tepatnya di Desa Kebanaran, Kecamatan Mandiraja. Bangunan Makam, masih berupa bangunan sederhana dari kayu dan memang kurang layak untuk Makam seorang Tokoh Besar. Namun, keberadaan makam ini diakui oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banjarnegara, dan dimuat disitus resmi mereka.

makam ki ageng penjawi desa pati lor, makam ki ageng penjawi pati, makam ki ageng penjawi banjarnegara

MENYIKAPI PERBEDAAN MAKAM

Banyak makam dari seorang tokoh besar adalah hal wajar, mengingat seorang tokoh besar seringkali berpindah pindah dan menetap lama di suatu daerah. Untuk menghormati tokoh tersebut, masyarakat setempat menempatkan sebuah tanda sebagai petilasan atau tempat yang pernah dikunjungi. Seiring berjalannya waktu dan bergantinya generasi, dengan tanpa informasi tertulis yang pasti, tak sedikit dari masyarakat di era selanjutnya, menganggap petilasan tersebut adalah makam dari tokoh yang dimaksudkan.

Kemudian, mana yang benar tentang makam Ki Ageng Penjawi, saya sendiri lebih condong ke makam di Desa Kebanaran. Namun, untuk kepastiannya, Wallahu a'lam kita pasrahkan saja kepada Tuhan.

Lalu bagaimana jika ziarah dan salah makam?
Niatnya Ziarah ke Makam ki Ageng Penjawi tapi ternyata hanya petilasan?

Saya rasa hal itu tidak perlu dipermasalahkan, karena, Pahala itu yang ngatur adalah Tuhan dan Ziarah sendiri berarti Kunjungan. Jadi ketika kita berkunjung, itu sudah mendapatkan Pahala dan Kebaikan dari Ziarah.

Bagaimana jika mengirim doa di makam yang salah?
Saya rasa itu juga tidak masalah. Karena Teknologi Tuhan jauh lebih sempurna dari pada teknologi GPS yang kadang menyesatkan. 😅 

Saat membaca Tahlil atau Yasin di suatu makam, tentu saja kita menyebut, kepada siapa pahala bacaan-bacaan tersebut akan kita tujukan. Dengan Alamat tujuan yang sudah disebutkan, maka kebaikan dari bacaan-bacaan yang dikirimkan tidak akan salah alamat dan tujuan.
Walaupun kita berdoa di kota A untuk Tokoh B yang ternyata berada di Kota B, maka tetap saja, pahala kebaikan tersebut akan sampai di Tokoh B, bukan ke Tokoh C atau yang lain.

Jadi, tidak perlu ragu apalagi sampai berdebat sengit tentang kesalahan penentuan Petilasan dan Makam, kalo hanya agar pahala ziarah kita diterima dan kebaikan bacaan kita tersampaikan. 
Pasti sampai dan Allah Maha Bijak; untuk tetap menghargai setiap langkah yang kita ambil menuju kebaikan.


Terima Kasih, sudah membaca Sampai Akhir, 
silakan dikomen aja jika ada yang kurang berkenan, Salam.

----- Irvan Sejati ------
*Disadur dari berbagai sumber



KOMPLEK MAKAM KI AGENG PENJAWI PATI

(Update 09 Juni 2022)


8 comments

Mohon Gunakan Kalimat yg Bijak untuk Berkomentar
Comment Author Avatar
Wednesday, 08 June, 2022 Delete
Mohon Masukan terkait Toponimi yang mungkin kurang tepat sy gunakan
Comment Author Avatar
Anonymous
Monday, 13 June, 2022 Delete
Babd Pati, semoga bermanfaat
Comment Author Avatar
Friday, 17 June, 2022 Delete
terima kasih
Comment Author Avatar
Anonymous
Tuesday, 14 June, 2022 Delete
Ijin Share
Comment Author Avatar
Friday, 17 June, 2022 Delete
silakan kak
Comment Author Avatar
Anonymous
Tuesday, 21 June, 2022 Delete
alhamdulillah, belajar kembali
Comment Author Avatar
Anonymous
Saturday, 25 June, 2022 Delete
lanjutkan
Comment Author Avatar
Anonymous
Friday, 22 December, 2023 Delete
👍👍👍
Jasa Desain Website Proffessional