Aksesories Laptop n Komputer

Jaka Tingkir; Raja Pajang Sang Penerus Kasultanan Demak

Table of Contents
joko tingkir mengalahkan kebo danu sultan trenggono


Quartal Awal 2022, lagu Jaka Tingkir sempat trending. Isinya yang menarik, membuat lagu Joko Tingkir banyak sekali dibawakan di acara-acara musik dengan beberapa varian lirik.

Setelah lagu ini viral, sang penulis lagu, mengunggah video permintaan maaf dan mengubah liriknya. Mengapa?
Banyak pihak yang "tidak terima", nama Jaka Tingkir dicatut dalam lagu yang liriknya terkesan kurang sopan. 

Baris pertama lagu ini mengatakan: Jaka Tingkir ngombe dawet (Jaka Tingkir minum dawet). Dimana masalahnya?
Sebenarnya tidak ada masalah sih, karena saya pun yakin kalo Joko Tingkir pasti pernah minum Dawet. Tidak ada unsur Pelecehan di sini. Namun, tampaknya, sang penulis lagu, kurang memahami Siapa Joko Tingkir ini atau kurang memahami Unggah Ungguh (Tata Krama) Jawa, atau hanya sekedar mengejar keindahan Nada.

Untuk sosok yang dituakan atau yang dimuliakan, dalam Bahasa Jawa, seharusnya digunakan bentuk Krama Inggil. Jadi, kata yang dipilih bukan "Ngombe" tapi "Ngunjuk", dan liriknya yang baik seharunysa "Joko Tingkir Ngunjuk Dawet".

Oke-oke, mari kita bahas satu persatu. Yang pertama dan paling ringan, apakah Jaka Tingkir pernah minum Dawet? 
Pernah dong, karena dawet itu minuman khas Jawa Tengah dan minuman ini sudah ada sejak dulu? kapan? dulu lah pokoknya (maksa hehe)

Joko Tingkir (pernah) Minum Dawet?

Kisaran tahun 1200an, Raden Kembang Jaya, membuka Tanah Kemiri, untuk dijadikan ibukota Kadipaten yang baru. Saat itu, datanglah seorang penjual minuman dawet dan Raden Kembang Jaya beserta para Pasukan menikmati minuman tersebut. Lalu beliau bertanya kepada penjual, kandungan dari minuman Dhawet, dan penjual mengatakan kalau Dawet terbuat dari Pati Aren yang diberi Santen Kelapa.
Begitu terkesannya Raden Kembang Jawa pada minuman Dawet dan akhirnya, digunakan dalam memberi nama baru untuk Kadipaten yang dipimpinnya, yaitu Kadipaten Pesantenan dari Kata Santen (Sekarang menjadi Kabupaten Pati)

Jadi, menurut cerita di atas, Dawet sudah ada di Tahun 1200an, sedangkan Jaka Tingkir, hidup di kisaran tahun 1500an. Artinya, ada potensi dong, bagi Jaka Tingkir untuk minum dawet? Karena Dhawet sudah ada di masa hidup Joko Tingkir, dan Beliau di masa mudanya adalah sosok yang gemar "Njajah Desa - Milang Kori". 

Apa pula itu??
Njajah Desa Milang Kori adalah peribahasa Jawa yang artinya kurang lebih adalah suka menjelalah dan berpetualang.
Njajah diartikan menjelajah, Desa bisa diartikan sebagai pedesaan atau juga wilayah. Njajah Desa, diartikan sebagai menjelajahi desa-desa atau wilayah-wilayah lain.

Milang dari kata Wilang, diartikan dengan menghitung. Kori menurut beberapa sumber diartikan dengan Pintu. Milang Kori, diartikan dengan menghitung pintu.

Njajah Desa Milang Kori, adalah sebuah petualangan ke wilayah-wilayah baru, lalu mengetuk (menghitung) pintu penduduknya, yang maknanya adalah berkenalan dengan penduduknya; mengenal karakter masyarakat dan budaya yang ada.

Tambah Ilmu Kan? hehe

foto dawet banjarnegara


Penggunaan Krama Inggil

Bahasa Jawa dalam penggunaannya, mempunyai 3 tingkat kesopanan, yaitu Ngoko, Krama, dan Krama Inggil.

Ngoko, digunakan untuk percakapan sehari-hari antar sesama. Merupakan tingkatan dasar yang banyak kita jumpai dalam percakapan antar teman, antar sahabat dan kepada orang-orang yang kita kenal dekat.

Krama, digunakan untuk berbicara lebih sopan kepada sesama teman atau kepada orang yang seumuran namun belum begitu kita kenal; untuk lebih menghargai mereka.

Sedangkan Krama Inggil (inggil = tinggi) adalah tingkatan tertinggi yang digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua, dan kepada orang-orang yang dimuliakan, seperti pada Guru, para Ulama dan Para Pemimpin.

Dalam kata Ngombe (Minum) misalnya, Ngokonya adalah Ngombe, Kramanya adalah Nginum dan Krama Inggilnya adalah Ngunjuk.

Contoh penggunaannya:
a. lawan bicara adalah teman dekat (menggunakan ngoko)
Kowe ngombe dhawet (Kamu minum dhawet)

b. lawan bicara adalah orang yang baru kita kenal (menggunakan krama)
Sampeyan nginum dhawet (kamu minum dhawet)

c. lawan bicara adalah orang yang lebih tua (menggunakan krama inggil)
Panjenengan ngunjuk dhawet (kamu minum dhawet)

Begitulah adat Jawa yang mengutamakan sopan santun dan benar-benar memperhatikan lawan bicaranya. Sebenarnya dalam beberapa bahasa lain, terdapat juga tingkatan kesopanan yang tercermin dalam penggunaan pilihan kata yang ada. Namun jawa terkesan lebih detail dengan menerapkan 3 tingkatan.

Bahasa Inggris misalnya, untuk kesopanan biasanya menggunakan kata "Would Like" dari pada menggunakan "want" dan sejenisnya.

Contoh:
I would like to introduce myself (aku ingin memperkenalkan diriku).
kalimat ini lebih sopan dari pada menggunakan I want to indroduce myself (aku ingin memperkenalkan diriku)

Dalam bahasa Arab kita juga mengenal penggunaan bentuk Jamak untuk menujukkan kesopanan, seperti pilihan kata Antum, untuk memuliakan sesorang, dari pada menggunakan kata Anta.

Bahasa Indonesia pun memiliki hal serupa seperti penggunaan kata Beliau untuk orang-orang yang dimuliakan dari pada menggunakan kata Dia.

Jadi, sebagai orang Jawa yang diajarkan unggah ungguh (tata krama), tentu saja kita harus bijak dalam memilih kata, terutama untuk orang-orang yang mulia.

tradisi kesopanan dan bersikap baik masyarakat jawa


Mengapa Joko Tingkir harus Dimuliakan?

Sebentar? Kalian belum mengenal Jaka Tingkir sama sekali?
Belum tahu kalo beliau adalah Raja Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijaya?
Wah, kalau belum kenal ya agak kebangetan sih sebenarnya, terutama yang asli keturunan Jawa. hehe.

Oke-oke, mari kita sedikit mengulasnya.

Joko Tingkir, mempunyai nama kecil Mas Karebet. Kamu juga punya nama kecil kan? itu lho, nama panggilan akrab saat kita kecil, yang berbeda dengan nama di Akte Lahir kita? Pasti punya lah hehe

Karebet adalah Putra dari Adipati Pengging, sebuah Kadipaten otonom di bawah Majapahit. Saat ini, Pengging adalah wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Ketika masih kecil, sang Ayah meninggal karena sebuah perselisihan dengan Kasultanan Demak. Tak lama berselang, sang Ibu, Nyai Ageng Pengging, juga meninggal dunia. Tentang perselisihan Demak dan Pengging, Kita bahas ini di lain kesempatan ya...

Karebet kecil kemudian diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir, dan ketika tumbuh remaja mulai dikenal dengan nama Joko Tingkir. Tingkir yang sekarang adalah sebuah kecamatan di Kotamadya Salatiga.

Joko Tingkir muda ini kemudian mengabdi di Kerajaan Demak Bintoro dan seiring prestasinya yang menonjol, baliau dinikahkan dengan Ratu Mas Cempaka, putri dari Sultan Trenggana (Raja Demak ke-III), serta diangkat sebagai Adipati Pajang, yang  sekarang ini, Pajang menjadi sebuah Kelurahan di Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.

Sultan Trenggono digantikan oleh Putranya Sunan Prawoto (Kakak Ipar Joko Tingkir), namun terjadi insiden yang konon katanya, menjadi sebab terbunuhnya Sunan Prawoto.

Nah, dimasa krisis itu, Joko Tingkir muncul dan menyelesaikan permasalahan yang ada lalu memimpin Kasultanan Demak, dan memindahkan Pusat Pemerintahan dari Bintoro (saat ini, daerah Demak Kota) ke Wilayah Pajang. Karena ibukotanya di Pajang, Kasultanan ini lebih dikenal dengan Kasultanan Pajang.

Joko Tingkir dalam masa kepemimpinannya, bergelar Sultan Hadiwijaya (Baca: Adiwijaya). Beliau memimpin Kasultanan Pajang dari 1568 hingga 1582. Di masa tuanya, beliau menyerahkan kerajaan kepada Putra Angkatnya, yaitu Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati) yang kemudian memindahkan Pusat Pemerintahannya ke Mentaok (Kota Gedhe, Yogyakarta) dan kerajaanya dikenal dengan Mataram Islam.

Joko Tingkir mempunyai beberapa keturunan, dan salah satunya adalah Pangeran Benawa. Pangeran Benawa mempunyai Putri bernama Dyah Banowati (Ratu Mas Adi) yang menikah dengan Sultan Agung Hanyokrowati, lalu berputra Sultan Agung Hanyokrokusuma (Pahlawan Nasional). 

Pangeran Benawa juga mempunyai Putra yang dikenal dengan Pangeran Radin, yang Kelak menurunkan pujangga-pujangga besar seperti Raden Yasadipura dan Raden Ranggawarsita

Selain itu, Pangeran Benawa, juga mempunyai Putra bergelar Sumo Hadinegara atau biasa dikenal dengan nama Mbah Sambu (Makamnya di Masjid Lasem, Jawa Tengah). Dari Mbah Sambu ini lahirlah para Ulama Nusantara diantara putra beliau adalah Mbah Mutamakkin (Suma Hadiwijaya) Kajen, Pati. Dikatakan pula, bahwa Mbah Sambu lasem menurunkan para ulama jawa timur seperti KH. Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama)

Jadi, sampai sini, kita sudah mengetahui kan alasan mengapa Jaka Tingkir layak dan sepatutnya kita muliakan?

Untuk lebih jelas, Santri Media, coba deh menyusun bagan silsilah Jaka Tingkir.
Disclaimer: Disadur dari Beberapa sumber, yang mungkin saja akan ditemukan kesalahan.
Silahkan dikomentari, namun jangan terlalu menyakiti hati ya kak hehehe


silsilah joko tingkir sultan hadiwijaya adiwijaya kasultanan pajang

Makam Jaka Tingkir

Ada beberapa versi tentang lokasi makam Jaka Tingkir. Sejauh penelusuran Santri Media, ada 3 makam yang yang terkenal, yaitu:

1. Komplek Makam Raja - Raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta
Menurut Versi Kasultanan Yogyakarta, Joko Tingkir tadinya di kebumikan di Sragen, lalu oleh pihak Keraton Mataram, Jasad beliau diambil dan disemayamkan di Hastana Kuthogedhe, Komplek Makam Raja-Raja awal Mataram.. Langkah ini diambil karena beliau termasuk Leluhur Kerajaan Mataram dan sudah sepatutnya dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kerajaan Mataram.

Informasi ini disampaikan oleh Abdi Dalem Keraton Yogyakarta yang bertugas menjaga Makam Kotagede, saat kami berkunjung ke sana.
Untuk memasuki komplek utama makam, para pengunjung diharuskan memakai pakaian adat jawa serta tidak diperkenankan mendokumentasikan Makam.


makam kutagedhe makam raja mataram jogjakarta yogyakarta


2. Komplek Makam Butuh, Plupuh, Sragen
Makam ini berada di Dusun Butuh, Gedongan, Kecamatan Plupuh, dan berjarak sekitar 16 km dari pusat kota Sragen. Silakan Sobat Santri klik Gmaps ini jika berencana ziarah ke sini.

Makam lain yang berada di kompleks permakaman ini adalah istri Kiai Ageng Butuh, adik Joko Tingkir yaitu Pangeran Tejowulan, dan Putra Joko Tingkir, Pangeran Benowo. 
Di halaman kompleks makam ini juga ada dua batang kayu tua yang disebut-sebut bagian dari perahu Joko Tingkir saat menyusuri Bengawan Solo menuju Dusun Butuh. Sempalan gethek itu berupa belahan kayu jati sepanjang sekitar dua meter.

makam joko tingkir butuh plupuh sragen


3. Komplek Makam Pringgoboyo, Manduran, Lamongan
Masyarakat dulunya mengenal makam ini sebagai makam dari Mbah Anggungboyo. Namun sejak Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid; Presiden RI Ke-4) menyebut secara terbuka bahwa Makam tersebut adalah Makam Joko Tingkir, Raja Pajang, maka masyarakat mulai berbondong-bondong menziarahi makam tersebut.

Dikatakan bahwa Gus Dur beberapa kali berziarah ke Makam tersebut, secara personal dan sejak tahun 90-an, Gus Dur mulai berziarah secara terbuka dengan membawa rombongan. Gus Dur juga hadir dalam haul Jaka Tingkir (Mbah Anggungboyo) pada 12 Mei 1999.

Makam Joko Tingkir ini ternyata berada di Dusun Dukoh, Desa Pringgoboyo, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan. Makam ini terletak tak jauh dari Sungai Bengawan Solo dan berjarak sekitar 40 km dari pusat Kota Lamongan.

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa Gus Dur masih keturunan dari Jaka Tingkir serta mempunyai "kelebihan" khusus dalam pengetahuan metafisik. Hal ini membuat keberadaan makam Jaka Tingkir di Lamongan ini lebih dipercaya oleh masyarakat.

Bagi Sobat Santri, yang hendak ziarah ke sini, silakan cek link Gmap berikut ya

makam joko tingkir mbah anggungboyo pringgoboyo manduran lamongan jawa timur





Terima Kasih, sudah membaca Sampai Akhir, 
silakan dikomen aja jika ada yang kurang berkenan, Salam.

----- Irvan Sejati ------
*Disadur dari berbagai sumber

2 comments

Mohon Gunakan Kalimat yg Bijak untuk Berkomentar
Comment Author Avatar
Anonymous
Thursday, 22 September, 2022 Delete
dimana makam joko tingkir yag asli?
Comment Author Avatar
Friday, 02 December, 2022 Delete
Ada 3 yg masyhur kak.. sesuai disebut di atas
Jasa Desain Website Proffessional