Aksesories Laptop n Komputer

Rabu Wekasan; Sebuah Ritual yang Selalu Hangat Diperbincangkan

Table of Contents

Memahami Arti Rebo Wekasan

Secara bahasa, “Rebo” merupakan nama hari dalam Bahasa Jawa yang sama maknanya dengan "Hari Rabu" dalam bahasa Indonesia, أربعاء (Arab), atau ‘Wednesday’ (Inggris); sedangkan “Wekasan” dalam Bahasa Jawa berarti ‘akhir’ (the end / النهاية). Dengan demikian, frase “Rebo Wekasan” berarti “Rabu Terakhir”.

Rebo wekasan digunakan untuk menyebut Hari Rabu yang terakhir dari Bulan Safar (Jawa: Sapar). Dalam kalender Hijriyah, bulan Safar merupakan urutan Nama Bulan yang Kedua. Istilah Rebo Wekasan disebut juga dengan Rebo Kasan, Rebo Pungkasan dan dalam istilah masyarakat Madura dikenal dengan Rebbu Bhekkasan.

Istilah Rebo Kasan banyak digunakan oleh masyarakat Jawa Barat. Kata kasan merupakan penggalan dari kata pungkasan yang berarti akhir dengan membuang suku kata depan menjadi kasan. Sebagian yang lain memahami kata kasan merupakan penggalan dari kata wekasan yang dalam bahasa Indonesia mempunyai arti pesanan

Berangkat dari teori di atas, istilah Rebo Kasan berarti hari Rabu yang spesial tidak seperti hari-hari Rabu yang lain. Seperti barang pesanan yang dibikin secara khusus dan tidak dijual kepada semua orang. Kesimpulan ini bisa dipahami karena Rebo Kasan memang hanya terjadi sekali dalam setahun dimana para sesepuh mewanti–wanti (wekas) agar hati-hati pada hari itu. 

Selain kedua versi tersebut, ada satu lagi yang mengasumsikan bahwa kata Kasan berasal dari kata bahasa Arab, hasan yang berarti baik. Barangkali kata kasan yang berarti baik sengaja dibubuhkan untuk memberi sugesti pada umat atau masyarakat agar tidak terlalu cemas dengan gambaran yang ada pada hari Rebo Wekasan tersebut (al-Marbawi, 1987: 126).

Secara terminologi, rebo wekasan dapat didefiniskan sebagai bentuk ungkapan yang menjelaskan satu posisi penting pada hari Rabu di akhir bulan Safar untuk kemudian dilakukan berbagai macam ritual, seperti (1) shalat tolak balak; (2) berdoa dengan doa-doa khusus; (3) minum air jimat; dan (4) selametan, sedekah, silaturrahim, dan berbuat baik kepada sesama, supaya terhindar dari berbagai musibah yang turun pada hari Rabu akhir di bulan Safar. Menurut kepercayaan sebagian masyarakat, termasuk masyarakat Jawa dan Madura, sifat bulan Safar hampir sama dengan bulan sebelumnya yang merupakan kelanjutan dari bulan Suro (Muharram), yang diyakini sebagai bulan yang penuh bencana, balak, malapetaka dan kesialan (hadis Abu Daud: No. 3414). Hal ini membuat beberapa kalangan masyarakat menganggap perlunya mengadakan tradisi ini sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus sebagai penghormatan kepada leluhur.

Sejarah Rebo Wekasan

Tradisi ritual Rebo Wekasan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan keagamaan masyarakat muslim di beberapa tempat di Jawa. Kepercayaan atas keunikan Rebo Wekasan berkaitan dengan keyakinan bahwa Allah menurunkan bala dan bencana pada hari tersebut. Atas dasar hal itu masyarakat kemudian meyakini bahwa hari tersebut adalah hari buruk untuk memulai atau melaksanakan aktivitas tertentu. 

Mereka menghindari Rebo Wekasan dalam melangsungkan akad nikah, melakukan perjalanan, memulai membangun rumah, memulai usaha, dsb karena dipandang akan membawa dampak buruk pada hasil yang akan dicapai. Sebagai gantinya, mereka kemudian melakukan ritual-ritual agama seperti salat, doa-doa, dan sedekah dengan harapan agar terhindar dari segala bala’ yang diturunkan pada hari tersebut.

Disebutkan dalam beberapa sumber referensi Islam Klasik bahwa salah seorang Waliyullah yang telah mencapai makom kasyaf (mendapatkan ilmu tentang sesuatu yang sulit dimengerti orang lain seperti hal–hal gaib) mengatakan bahwa dalam setiap tahun Allah swt. menurunkan bala’ (penyakit, bencana, kejahatan, dsb.) sebanyak 320.000 macam dalam satu malam. Oleh karena itu Wali tersebut memberi nasehat mengajak pada umat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon agar dijauhkan dari semua bala’ yang diturunkan pada hari itu dengan membaca doa-doa keselamatan dan tolak bala. Atas dasar itulah ritual yang dilakukan pada hari Rebo Wekasan bersifat bersifat tolak bala.

Sumber-sumber rujukan yang biasa digunakan sebagai landasan ritual Rebo Wekasan adalah kitab-kitab klasik yang ratarata ditulis pada akhir abad 17 M dan awal abad 18 M. Kitab-kitab rujukan ini adalah hasil karya para cendekiawan Islam yang bukan berasal dari tanah Jawa. Oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa ritual Rebo Wekasan bukan budaya asli budaya Jawa meskipun menggunakan istilah Jawa. Di antara kitab-kitab rujukan yang digunakan adalah: Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir karya syekh Ahmad al-Dairabi, Kanzun al-Najah karya Syekh Abd al-Hamid al-Qudsi, al-Jawahir al- Khams karya Syekh Muhammad Khatir al-Din al-Atthar, Syarah Sittin, Khazinat al-Asrar dan lain-lain.

Doa Rebu Wekasan

Fenomena Rebo Wekasan dilatarbelakangi adanya pendapat Abdul Hamid Quds yang dituangkan dalam kitab Kanzun Najah wa-Surur fi Fadhail al-Azminah wa-Shuhur. Dijelaskan dalam kitab tersebut, setiap tahun pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, Allah menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi. Hari tersebut dianggap sebagai hari yang terberat sepanjang tahun. Maka barangsiapa yang melakukan shalat 4 rakaat, di mana setiap rakaat setelah surat al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali, lalu surat al- Ikhlas 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali; kemudian setelah salam membaca do’a, maka Allah dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.

Kegiatan serupa dalam mengartikan bulan Safar sebagai bulan bencana adalah sebagaimana dikisahkan oleh al-Syeikh Muhammad bin Atwi al-Maliki al-Hasani, dalam kitabnya Abwab al-Faraj, Pasal pengobatan dengan ayat syifa (penyembuh). Diceritakan di dalamnya, bahwa al-lmam al-Syeikh Abu al-Qashim al-Qusyairi Rahimahullah memiliki anak dalam kondisi sakit keras sehingga hampir berputus asa melihat anaknya. 

Dalam tidurnya ia mimpi bertemu dengan Nabi dan ia menyampaikan kondisi sakit anaknya, dan Nabi berkata; “apakah engkau tidak mengetahui ayat-ayat syifa di dalam al-Qur’an?”. 
Kemudian al-lmam al-Syeikh Abu al-Qashim al-Qusyairi segera mencari ayat-ayat yang dimaksud Rasulullah tersebut. 

Ditemukanlah enam ayat dalam al-Qur’an yang mengandung kata syifa, yaitu yang terdapat dalam surat at-Taubah (14), Yunus (57), surat al-Nahl (69), surat al-Isra (82), dan surat al-Syu’ara (80). Kemudian beliau menulis ayat-ayat tersebut di atas kertas dan memasukkannya ke dalam air dan disuguhkan kepada anaknya untuk diminum sebagai penawar. Maka kemudian sembuhlah anak tersebut dari penyakitnya. 

Adapun ketujuh ayat yang disebut di dalam kitab Tajul Muluk terdapat dalam surat Yasin (58), surat ash-Shafat (79, 109, 120, 130), surat al-Zumar (73), dan surat al-Qadar (5) (Arsyad, 2005: 9).

Atas dasar pendapat dan kisah tersebut, sebagian masyarakat menyakini bahwa bulan Safar adalah adalah bulan sial sehingga harus mengadakan sebuah ritual untuk menolak bala bencana sebagaimana tradisi-tradisi selamatan lainnya yang diperingati untuk memperoleh keselamatan. Fenomena tersebut merupakan bentuk pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal terhadap kesadaran pokok seseorang, dalam hal ini adalah pengalamanpengalaman ritual yang dilakukan oleh masyarakat yang menyakini turunnya bencana di bulan Safar.

Hal itu dikuatkan dengan pendapat-pendapat yang didapatkan sebagian besar dari cerita mulut ke mulut dari para orang tua ke generasi selanjutnya, sehingga tidak ada yang dapat memastikan darimana ritual perayaan ini berasal, meskipun sudah tersebar dimana-mana. Bahkan, mungkin ada sebagian masyarakat Malaysia dan juga Pattani (sebuah provinsi bagian selatan Thailand) yang menyebut tentang kena’asan Rabu terakhir. 

Menurut cerita (gugon tuhon), Rebo Wekasan adalah sebuah kepercayaan untuk memperingati hari berkabung; dimana Nabi Muhammad SAW. sakit dan wafatnya tepat di hari Rabu akhir bulan Safar. Maka, terdapat sebagian masyarakat yang menganggap pada hari itu membawa kesedihan.

Setidaknya, ada dua makna yang terkandung dalam perayaan rebo wekasan bagi masyarakat muslim, kedua makna tersebut adalah makna yang sangat sakral dan makna ketenangan. Sebagian masyarakat muslim kebanyakan mereka meyakini bahwa hari Rabu terakhir bulan Safar atau Rebo wekasan mempunyai makna yang mendalam dan disakralkan karena dianggap hari nahas, hari dimana Allah SWT. menurunkan 320 ribu balak, hari yang menakutkan atau hari yang bisa menjadikan seseorang mendapatkan bahaya. 

Kemudian sebutan hari nahas ini menurut beberapa orang berdasarkan pada tafsir QS. al-Qomar yang artinya “Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus. (QS. al-Qomar [54]: 19)


Post a Comment

Jasa Desain Website Proffessional